Minggu, 14 Juni 2015

otonomi daerah


Wave: BAB VYT.jpg




Otonomi Daerah
Wave: BAB V 


OTONOMI DAERAH
A.    Pengantar
       Didalam UUD 1945 pasal 1 ayat 1 secara eksplisit ditegaska bahwa “negara Indonesia ialah negara kesatuan yang berbentuk Republik”. Hal ini jelas mengindikasikan bahwa meskipun indonesia dengan luas wilayah l5.193.250 km² yang terdiri atas 17.508 pulau dan lautan, indonesia adalah negara yang satu. Dimana tidak ada satupun daerah bagiannya yang menjadi negara didalam negara.
       Dari fakta diatas bukanlah perkara yang mudah untuk membangun suatu sistem pemerintahan yang kuat sampai ke daerah tanpa adanya pedoman dan prinsip yang tepat. sehingga didalam pasal 18  UUD 1945 pasal 1 dijelaskan bahwa “Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang.” Dan pasal 2 “Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas”. Otonomi daerah secara sederhana dapat kita artikan sebagai pemberian wewenang dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk mengurusi rumah tangga daerahnya. Tujuan utama diadakannya otonomi daerah ini tidak lain ialah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan mendorong terselenggaranya pelayanan publik sesuai tuntutan masyarakat daerah, mendorong efisiensi alokatif penggunana dana pemerintah melalui desentralisasi kewenangan dan pemberdayaan daerah
B.   Uraian Materi
1.    Pengertian Otonomi Daerah
     Secara bahasa otonomi berasal dari dua kata yakni daerah berarti autos yang berarti sendiri dan nomos yang berarti mengatur. Sehingga secara sederhana otonomi daerah mengandung arti “mengatur sendiri”. Sedangkan menurut ketentuan UU no.23 tahun 2014 Otonomi Daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri Urusan Pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
     Pada tingkat yang terendah, otonomi berarti mengacu pada perwujudan  free will yang melekat pada diri-diri manusia sebagai satu anugerah paling berharga dari Tuhan (Piliang, 2003). Free will inilah yang mendorong manusia untuk mengaktualisasikan diri dan menggali seluruh potensi terbaik dirinya secara maksimal. Berawal dari individu-individu yang otonom tersebut kemudian membentuk komunitas dan menjadi bangsa yang unggul.
     Otonomi individu menjadi modal dasar bagi terbentuknya otonomi pada level yang lebih tinggi. Otonomi daerah adalah manifestasi dari keinginan untuk mengatur dan mengaktualisasikan seluruh potensi daerah secara maksimal yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah tersebut. Otonomi daerah dipandang penting karena otonomi merupakan kebutuhan hakiki dimana daerah memiliki keinginan untuk mengatur rumah tangganya sendiri. Otonomi daerah memberikan peluang untuk bersaing secara sehat dan terbuka bagi seluruh lapisan masyarakat dan juga antardaerah. Untuk itu, otonomi daerah perlu diperkuat dengan peraturan yang jelas dan rambu-rambu yang disepakati bersama untuk menjamin keteraturan sosial dan mencegah timbulnya kerawanan sosial yang tidak perlu.
2.    Asas-Asas Otonomi daerah
     Asas Otonomi adalah prinsip dasar penyelenggaraan Pemerintahan Daerah berdasarkan Otonomi Daerah.(UU Republik Indonesia no 23 Tahun 2014 tentang pemerintah daerah).    Dalam penerapannya, terdapat asas-asas yang menjadi pedoman pelaksanaan otonomi daerah. Tiga asas dalam pelaksanaan otonomi daerah yaitu asas desentralisasi, tugas pembantuan dan dekonsentrasi
a.  Asas desentralisasi
     adalah penyerahan wewenang penyelenggaraan pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
b.      Asas Dekonsentrasi
adalah pelimpahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau kepada instansi vertikal di wilayah tertentu. Dengan perkataan lain asas dekosentrasi merupakan wujud pelimpahan wewenang atau tugas yang seharusnya menjadi tugas pemerintah pusat namun diserahkan kepada daerah.
c.    Asas Tugas Pembantuan 
adalah penugasan dari pemerintah pusat kepada daerah dan/atau desa dari pemerintah provinsi kepada kabupaten/kota dan/atau desa serta dari pemerintah kabupaten/kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu. (Pasal 1 UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah) Sebagai negara kesatuan yang menerapkan sistem desentralisasi, maka dalam penyelenggaraan peme-rintahan, pemerintah daerah berhak mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Dengan perkataan lain asas tugas pembantuan mengandung arti bahwa daerah memiliki peranan untuk membantu pekerjaan yang ditangani pemerintah pusat.
3.      Tujuan Umum Otonomi Daerah
        Otonomi daerah tidak semerta-merta di terapkan di Indonesia, melainkan sudah tentu terdapat alasan dan tujuan yang jelas. Tujuan dari otonomi daerah di Indonesia adalah sebagai berikut .
a. Meningkatkan Pelayanan Umum
      Dengan otonomi daerah diharapkan pelayanan umum lembaga pemerintah di masing-masing daerah dapat ditekankan kemaksimalan pelayanannya. Dengan pelayanan yang maksimal diharapkan masyarakat merasakan secara langsung manfaat otonomi daerah.
b. Meningkatkan kesejahteraan Masyarakat
      Dengan pelayanan yang memadai diharapkan kesejahteraan masyarakat pada daerah otonom bisa dipercepat. Tingkat kesejahteraan masyarakat menunjukkan bagaimana daerah otonom bisa menggunakan hak dan wewenangnya secara bijak dan tepat sasaran.
c. Meningkatkacn daya saing daerah
Dengan tujuan untuk meningkatkan daya saing daerah diharapkan dapat dilaksanakan dengan maksimal. Meningkatkan daya saing daerah harus memperhatikan bentuk keanekaragaman dan kekhususan daerah tertentu dan tetap mengacu pada kebinekaan "Bineka Tunggal Ika" walaupun berbeda-beda tetapi tetap satu jua.
4.         Model Hubungan pemerintah pusat dan daerah dalam kerangka Otonomi Daerah
        Di dalam menjalankan fungsinya pemerintah pusat dan daerah tentu tidak dapat dipisahkan. Sehingga di dalam pelaksanaan otonomi daerah di indonesia terdapat model-model hubungan antara kedua pemerintahan tersebut. Model-model tersebut diantaranya.
a.      Hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah di Bidang Pengawasan
      Pada dasarnya kegiatan pengawasan ditujukan sebagai proses pemantauan terhadap pelaksanaan kerja, pemantauan terhadap pelaksanaan kebijakan, dan pemantauan terhadap hasil kerja bahkan dapat juga mendeteksi sejauhmana telah terjadi penyimpangan dalam pelaksanaan kerja tersebut. Selain itu fungsi pengawasan pun lebih ditujukan untuk menghindari adanya kemungkinan penyelewengan atau penyimpangan atas tujuan yang akan dicapai. Dalam kaitannya dengan keuangan, pengawasan ditujukan untuk menghindari terjadinya korupsi, penyelewengan, dan pemborosan anggaran.
      Ditinjau dari hubungan pusat dan daerah dalam kerangka otonomi, pengawasan merupakan “pengikat” kesatuan agar kebebasan otonomi tidak bergerak jauh dengan kata lain untuk kontrol kebebasan berotonomi. Bentuk pengawasan dapat berupa pengawasan represif dan preventif. Pengawasan tersebut dalam kronologi perundang-undangan ada yang secara tegas mengatur ada pula yang belum mengaturnya. Dalam UU terdahulu yaitu UU No.1 tahun 1945 tidak (belum) mengatur pengawasan, baik represif maupun preventif. UU No.22 Tahun 1948 menentukan wewenang pengawasan represif ada pada presiden. UU No. 5 Tahun 1974 tidak mengatur dengan tegas organ pemerintahan yang berwenang melakukan pengawasan represif.
      Pengawasan dalam bentuknya yang represif dan preventif tidak secara tegas dijelaskan dalam UU No. 32 tahun 2004, hanya saja ditemukan/disebutkan dalam pasal 218 bahwasanya pengawasan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah menurut ketentuan pasal 218 UU No. 32 tahun 2004, dilaksanakan oleh Pemerintah yang meliputi:
Ø Pengawasan atas pelaksanaan-urusan pemerintahan di daerah;
Ø  Pengawasan terhadap peraturan daerah dan peraturan kepala daerah.
          Untuk pengawasan penyelenggaraan pemerintahan secara nasional dikoordinasikan oleh Menteri Dalam Negeri. Pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah  untuk kabupaten/kota dikoordinasikan oleh Gubernur. Pengawasan penyelenggaraan pemerintahan desa dikoordinasikan oleh Bupati/Walikota. Bupati dan walikota dalam pembinaan dan pengawasan  dapat melimpahkan kepada camat.

b.    Hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah di Bidang Pemanfaatan Sumber Daya Alam
          Berdasarkan ketentuan Pasal 17 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2004 disebutkan bahwa hubungan dalam bidang  pemanfaatan sumber   daya   alam  dan sumber daya lainnya antara Pemerintah pusat dan pemerintahan daerah meliputi: 
Ø   Kewenangan, tanggung jawab,  pemanfaatan,  pemeliharaan, pengendalian dampak, budidaya, dan pelestarian;
Ø   Bagi hasil atas pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya; dan
Ø   Penyerasian lingkungan dari tata ruang serta  rehabilitasi lahan. 
        Dari yang telah disebutkan diatas, nampak jelas bahwa daerah yang memiliki kekayaan sumber daya alam, dalam hal kewenangan, tanggung jawab,  pemanfaatan, pemeliharaan, pengendalian dampak, budidaya, dan pelestarian melibatkan pula pemerintah pusat. Dan juga daerah mendapatkan Bagi hasil atas pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya bersama dengan pemerintah pusat karena kedua pemerintah ini ikut andil dalam bidang pemanfaatan sumber daya alam. Pemanfaatan sumber daya alam dapat diambil contoh pada Provinsi Bengkulu yang memiliki kekayaan SDA berupa Timah, hasil pemanfaatan timah ini akan juga menjadi pendapatan bagi daerah (Provinsi Bengkulu).
c.    Hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah di Bidang Pelayanan Umum
     Bidang pelayanan umum menjadikan sorotan yang cukup penting dalam kajian otonomi. Daerah otonom dengan wewenang untuk mengatur dan mengurus urusan rumah tangganya, terkadang masih ditemukan bahwa pelayanan umum dalam daerah tertentu tidak memenuhi standar minimal pelayanan. Hal ini entah dikarenakan daerah yang tidak perduli ataukah tidak mampu (keterbatasan kemampuan) dalam menyediakan pelayanan umum yang maksimal. Bila diambil contoh yaitu dalam penyediaan pelayanan umum berupa rumah sakit, dimana terdapat fasilitas rumah sakit yang berbeda-beda, ada rumah sakit dengan fasilitas minim (dibawah standar), adapula yang lengkap. Selain bidang kesehatan, pelayanan umum bidang transportasi juga perlu diperhatikan seperti penyediaan halte, penyediaan akses jalan alternative agar memudahkan seseorang menuju daerah itu.
     Seharusnya pemerintah pusat memperhatikan hal-hal ini dan memfasilitasi serta turut mendanai penyelenggaraan pelayanan umum di daerah-daerah yang memerlukan penyediaan pelayanan umum agar lebih maksimal, efektif, dan menjamin kenyamanan masyarakat yang menikmatinya. Hubungan pemerintah pusat dan daerah di bidang pelayanan umum telah diatur dalam UU No. 32 tahun 2004 pasal 16  ayat (1) yaitu meliputi: 
Ø  Kewenangan, tanggung jawab, dan penentuan standar pelayanan minimal;
Ø  Pengalokasian pendanaan pelayanan umum yang menjadi kewenangan daerah
Ø  fasilitasi pelaksanaan kerja sama antar pemerintahan daerah dalam penyelenggaraan pelayanan umum.
d.      Hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah di Bidang Fiskal.
Untuk memahami peran pemerintah pusat dan daerah dibidang Fiskal, dalam kaitannya dengan otonomi daerah, berikut dijabaran perbedaan kebijakan fiskal sebelum dan sesudah otonomi daerah di Indonesia.
(1)  Kebijakan Fiskal Sebelum Otonomi Daerah 1998
Keuangan daerah berdasarkan UU No. 5 tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah ditentukan bahwa wewenang pengelolaan pemerintahan daerah dilakukan berdasarkan tiga asas, yaitu dekonsentrasi, pembantuan (medebewind) dan desentralisasi (Piliang, 2003). Asas dekonsentrasi adalah wewenang pengelolaan pembangunan daerah yang dimiliki oleh pemerintah pusat, tetapi telah dilimpahkan kepada pemerintah daerah. Sedangkan desentralisasi pada dasarnya adalah wewenang pemerintah daerah dalam pengelolaan pembangunan di daerahnya sendiri. Sedangkan asas perbantuan adalah pemerintah daerah daerah membantu melakukan tugas-tugas yang dimiliki pemerintah pusat di daerah,tetapi pembiayaannya ditanggung oleh pemerintah daerah. Dalam pelaksanaan tugas-tugas tersebut, berdasarkan pasal 55 UU No. 5 tahun 1974, pemerintah daerah dibekali dengan beberapa sumber pendapatan, yaitu:
Ø Pendapatan Asli Daerah (PAD), yang terdiri dari hasil pajak daerah, retribusi daerah, hasil perusahaan daerah (BUMD), dan lain-lain hasil usaha daerah yang sah.
Ø Pendapatan yang berasal dari pusat, yang terdiri dari sumbangan dan sumbangan-sumbangan lain yang diatur dengan pengaturan perundang-undangan.
Ø Lain-lain pendapatan daerah yang sah.
Di masa lalu, bantuan yang diberikan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah terbagi dalam dua kelompok. Pertama, subsidi/ perimbangan keuangan daerah otonom. Subsidi Daerah Otonom (SDO) merupakan satu kebijakan pemerintah yang dimaksudkan untuk mengamankan pengeluaran rutin daerah. Distribusi subsidi tersebut kepada daerah dilakukan berdasarkan kebijakan Menteri Dalam Negeri yang diperhitungkan dari data pegawai daerah di masing-masing daerah.
SDO terdiri dari belanja pegawai, belanja non pegawai yang diarahkan dan belanja non pegawai yang diarahkan dan ditetapkan. Belanja non-pegawai yang ditetapkan terdiri dari dua kategori, yaitu, pertama subsidi/bantuan dan ganjaran. Kedua, bantuan yang dialokasikan untuk keperluan investasi di daerah. Di Indonesia, jenis investasi yang kedua ini dijalankan di bawah instruksi yang diberikan oleh presiden. Oleh karena itu sering disebut dengan Bantuan Inpres (Instruksi Presiden). Bantuan Inpres terbagi dalam dua bentuk, yaitu bantuan khusus (spesific grant) dan bantuan umum (block grant). Bantuan khusus dialokasikan berdasarkan tujuan khusus yang ditentukan oleh pemerintah pusat, seperti bantuan penunjang jalan dan jembatan kabupaten, bantuan pembangunan sekolah dasar, bantuan pembangunan sarana kesehatan, dan reboisasi. Oleh karenanya, pemerintah daerah tidak memiliki kewenangan untuk mengubah penggunaan bantuan ini untuk tujuan lain.
Bantuan tersebut terdiri dari bantuan pembangunan Daerah Tingkat I, Daerah Tingkat II dan Desa Berdasarkan pengalaman yang ada selama ini, proporsi transfer bantuan yang diberikan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah didominasi bentuk  bentuan yan bersifat khusus. Hal itu terbukti misalnya dari studi yang dilakukan oleh Mahi (2001). Transfer dana dari pemerintah pusat yang tergolong bantuan umum diperkirakanhanya sebesar 20% dari keseluruhan transfer, sementara kebanyakan dari transfer tersebut digolongkan sebagai bantuan khusus.
Di samping SDO dan Bantuan Inpres, terdapat juga bantuan yang berasal dari alokasi Daftar Isian Proyek (DIP) yang merupakan pengeluaran investasi langsung oleh pemerintah pusat. Di antara berbagai jenis bantuan tersebut, DIP merupakan sumber pendanaan terbesar, diikuti oleh SDO dan Inpres. Dengan demikian, secara umum  kondisi penerimaan pemerintah daerah pada umumnya didominasi oleh penerimaan yang berasal dari subsidi dan bantuanyang diperoleh dari pemerintah pusat. Penerimaan Pandapatan Asli Daerah (PAD) dan bagi hasil pajak dan bukan pajak meningkat dan penerimaan subsidi/bantuan menurun, sementara pinjaman daerah tidak menunjukkan perubahan yang berarti.
Hal tersebut menunjukkan pula bahwa tingkat ketergantungan propinsi-propinsi terhadap sumbangan/bantuan masih cukup besar. Dalam penggunaan berbagai sumber penerimaan yang diperoleh pemerintah daerah itu, pelaksanaan asas dekonsentrasi oleh daerah pada umumnya dibiayai dari bantuan-bantuan inpres. Sedangkan pelaksanaan asas desentralisasi umumnya dibiayai melalui PAD. Dalam UU No. 5 tahun 1974 sebenarnya hanya disebutkan bahwa pengelolaan dana dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip tersebut tanpa menyebutkan berapa besar persentase alokasi untuk masing-masing asas. Tetapi, dalam kenyataannya alokasi dana APBD untk melaksanakan asas dekonsentrasi mencapai rata-rata 70% dari jumlah keseluruhan alokasi pembangunan setiap tahun. Sedangkan alokasi dana untuk melaksanakan asas perbantuan dan desentralisasi hanya berkisar 30%.

(2)  Kebijakan fiskal setelah otonomi Daerah 1998
     Prinsip dasar yang sering dipergunakan dalam menentukan besarnya keuangan yang dibutuhkan oleh suatu daerah otonom adalah prinsip di mana fungsi-fungsi (urusan-urusan) ditentukan terlebih dahulu, baru kemudian ditetapkan besarnya kebutuhan keuangan bagi pelaksana urusan bersangkutan (money follows function). Hal ini sebenarnya tidak sepenuhnya berlaku, karena di negara-negara Dunia Ketiga, pelaksanaan kebijakan distribusi keuangan dilakukan dengan mendahulukan pembagian keuangan dan barulah diikuti oleh pembagian fungsi.
     Konsep money follows function tidak mudah untuk diaplikasikan terbukti dengan belum tuntasnya rumusan pembagian kewenangan antar pemerintah daerah di Indonesia. Dalam lingkup UU No. 22 tahun 1999 inti otonomi daerah meliputi dua hal. Pertama, pemberian kewenangan, dan bukan sekedar pendistribusian otoritas seperti pada UU No. 5 tahun 1974. Kedua, sekaligus pemberian tanggung jawab. Daerah juga bertanggung jawab membina dan melayani masyarakat. Satu aspek yang perlu dicatat dalam desentralisasi yang dilakukan di Indonesia adalah kecepatan dan besaran dari perubahan yang dilakukan.
     Dalam UU No. 22/1999, seluruh fungsi pelayanan publik – kecuali pertahanan, hubungan luar negeri, kebijakan moneter dan perdagangan, serta sistem hukum - akan didesentralisasikan pada tingkat kabupaten. Propinsi sebagai tingkat pemerintahan yang lebih tinggi tidak diberikan tanggung jawab yang besar, kecuali melakukan kebijakan yang lebih bersifat koordinasi dari kebijakan pemerintah di tingkat kabupaten  Untuk mendukung tanggung jawab yang dilimpahkan, pemerintah daerah memerlukan sumber fiskal. UU No. 25/1999 menyatakan bahwa untuk tujuan tersebut pemerintah daerah harus memiliki kekuatan untuk menarik pungutan dan pajak, dan pemerintah pusat harus mentransfer sebagian pendapatan dan atau membagi sebagian pendapatan pajaknya dengan pemerintah daerah. Struktur pajak, setelah diterapkannya UU No. 25/1999, beserta basis pajaknya untuk pemerintah pusat, propinsi, danpaten/kota. Sumber pajak utama pemerintah propinsi berasal dari pajak kendaraan bermotor dan pajak balik nama kendaraan bermotor, yang dapat dipandang sebagai variasi pajak kekayaan dan properti. Jenis pajak daerah yang dapat diusahakan oleh pemerintah kabupaten dan kota terbatas pada tujuh jenis pajak hotel dan restoran, pajak iklan, pajak atas bahan bangunan, pajak penggunaan air, pajak hiburan, pajak IMB, dan retribusi lain-lain. Pemerintah daerah tidak akan diperkenankan untuk meningkatkan pendapatan daerah lewat pajak selain pajak yang disebutkan di atas. Jenis-jenis pendanaan untuk membiayai pembangunan dan aktivitas rutin. Jenis-jenis pendanaan tersebut yaitu.
(a)  Dana Perimbangan
      Dana perimbangan adalah dana yang bersumber dari penerimaan APBN, yang dialokasikan kepada Daerah untuk membiayai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Menurut UU No. 25/1999 pasal 6, Dana Perimbangan Terdiri dari:
Ø Bagian Daerah (Dana Bagi Hasil) dari PBB, BPHTB, PPh orang pribadi dan SDA (Sumber Daya Alam).
Ø  Dana Alokasi Umum (DAU)
Ø Dana Alokasi Khusus (DAK)

·      Dana Bagi Hasil
Untuk mengatasi kurangnya sumber pajak tersebut, UU No. 25/ 1999 menyediakan dana bagi hasil yang dibagi berdasarkan persentase tertentu bagi pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Pendapatan pemerintah pusat dari ekploitasi sumber daya alam, sperti minyak dan gas, pertambangan, dan kehutanan dibagi dalam proporsi yang bervariasi antara pemerintah pusat, povinsi, kota dan kabupaten.
·      Dana Alokasi Umum
Hal penting dari pengaturan keuangan menurut UU No. 25/1999 adalah provisi berupa transfer antardaerah dari pusat ke kabupaten dan kota, yang disebut dengan Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Diperkenalkannya DAU dan DAK berarti menghapus Subsidi Daerah Otonom dan Dana Inpres yang diperkenalkan era Soeharto. DAU merupakan block grant yang diberikan kepada semua kabupaten dan kota untuk tujuan mengisi kesenjangan antara kapasitas yang kebutuhan fiskalnya, dan didistribusikan dengan formula berdasarkan prinsip-prinsip tertentu yang secara umum mengindikasikan bahwa daerah miskin dan terbelakang harus menerima lebih banyak daripada daerah kaya.dengan kata lain,tujuan penting alokasi DAU adalah kerangka pemerataan kemampuan penyediaan pelayanan publik antar pemda di Indonesia. Undang-undang No. 25/1999 pasal 7 menggariskan bahwa pemerintah pusat berkewajiban menyangkut paling sedikit 25% dari Penerimaan Dalam Negerinya dari bentuk DAU. Secara definisi, Dana Alokasi Umum dapat diartikan sebagai berikut (Sidik, 2003):
                             i.     satu komponen dari Dana Perimbangan pada APBN, yang pengalokasiannya didasarkan atas konsep Kesenjangan Fiskal atau Celah Fiskal (Fiscal Gap), yaitu selisih antara Kebutuhan Fiskal dengan Kapasitas Fiskal.
                           ii.      instrumen untuk mengatasi horizontal imbalance, yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah di mana penggunaannya ditetapkan sepenuhnya oleh daerah.
                         iii.     Equalization grant, yaitu berfungsi untuk menetralisasi ketimpangan kemampuan keuangan dengan adanya PAD, Bagi Hasil Pajak dan Bagi Hasil SDA yang diperoleh daerah
.
·         Dana Alokasi Khusus
DAK ditujukan untuk daerah khusus yang terpilih untuk tujuan khusus. Karena itu, alokasi yang didistribusikan oleh pemerintah pusat sepenuhnya merupakan wewenang pusat untuk tujuan nasionalkhusus. Kebutuhan khusus dalam DAK meliputi:
                    i.     Kebutuhan prasarana dan sarana fisik di daerah terpencil yang tidak mempunyai akses yang memadai ke daerah lain;
                  ii.     Kebutuhan prasarana dan sarana fisik didaeradidaerah yang menampung transmigrasi;
                     iii.      Kebutuhan prasaran dan sarana fisik yang terletak di daerah pesisir/kepulauan dan tidak mempunyai prasarana dan sarana yang memadai;
                     iv.     Kebutuhan prasaran dan sarana fisik di daerah guna mengatasi dampak kerusakan lingkungan.
(b)   Pinjaman Daerah
Pemerintah daerah diberikan kewenangan berdasarkan UU No. 22/1999 untuk mencari pinjaman baik domestik maupun dari luar negeri, dari institusi keuangan multilateral dan agen pemberi bantuan dan pemerintah pusat seperti juga dari institusi keuangan swasta. Walaupun demikian, terdapat pembatasan tertentu yang dirancang dengan tujuan untuk menjamin manajemen keuangan yang berhatihati pada pemerintah daerah.
Utang jangka panjang terbatas untuk pembangunan infrastruktur yang dapat menghasilkan pendapatan, sedangkan utang jangka pendek hanya dapat digunakan untuk operasi keuangan untuk penyesuaian aliran kas musiman. Utang jangka panjang tidak boleh melebihi 75% pendapatan umum, rasio bunga dari utang jangka panjang tidka boleh lebih dari 2,5 kali, dan  utang jangka pendek tidak boleh melebihi 1/6 total anggaran belanja. Pinjaman internasional harus melalui pemerintah pusat.


5.      Daerah Otonomi khusus dan istimewa
Dalam UUD NRI Tahun 1945 Pasal 18B ayat (1) disebutkan bahwa “Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintah daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang.” Konsekuensinya terhadap pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia adalah munculnya daerah-daerah otonomi berstatus khusus dan istimewa yang dilatarbelakangi oleh berbagai macam pertimbangan, baik dari sisi sejarah , politik, ekonomi, budaya bahkan HAM.

a.    Daerah Otonomi Khusus Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
     Aceh adalah daerah provinsi yang merupakan kesatuan masyarakat hukum yang bersifat istimewa dan diberi kewenangan khusus untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang dipimpin oleh seorang Gubernur.
     Pengakuan Negara atas keistimewaan dan kekhususan daerah Aceh terakhir diberikan melalui Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (LN 2006 No 62, TLN 4633). UU Pemerintahan Aceh ini tidak terlepas dari Nota Kesepahaman (Memorandum of Understanding) antara Pemerintah dan Gerakan Aceh Merdeka yang ditandatangani pada tanggal 15 Agustus 2005 dan merupakan suatu bentuk rekonsiliasi secara bermartabat menuju pembangunan sosial, ekonomi, serta politik di Aceh secara berkelanjutan. Hal-hal mendasar yang menjadi isi UU Pemerintahan Aceh ini antara lain:
Ø Pemerintahan Aceh adalah pemerintahan daerah provinsi dalam sistem NKRI berdasarkan UUD Tahun 1945 yang menyelenggarakan urusan pemerintahan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Aceh sesuai dengan fungsi dan kewenangan masing-masing.
Ø Tatanan otonomi seluas-luasnya yang diterapkan di Aceh berdasarkan UU Pemerintahan Aceh ini merupakan subsistem dalam sistem pemerintahan secara nasional.
Ø Pengaturan dalam Qanun Aceh maupun Kabupaten/Kota yang banyak diamanatkan dalam UU Pemerintahan Aceh merupakan wujud konkret bagi terselenggaranya kewajiban konstitusional dalam pelaksanaan pemerintahan tersebut.
Ø Pengaturan perimbangan keuangan pusat dan daerah tercermin melalui pemberian kewenangan untuk pemanfaatan sumber pendanaan yang ada.
Ø Implementasi formal penegakan syari’at Islam dengan asas personalitas ke-Islaman terhadap setiap orang yang berada di Aceh tanpa membedakan kewarganegaraan, kedudukan, dan status dalam wilayah sesuai dengan batas-batas daerah Provinsi Aceh.
     Pengakuan sifat istimewa dan khusus oleh Negara kepada Aceh sebenarnya telah melalui perjalanan waktu yang panjang. Tercatat setidaknya ada tiga peraturan penting yang pernah diberlakukan bagi keistimewaan dan kekhususan Aceh yaitu Keputusan Perdana Menteri Republik Indonesia Nomor 1/Missi/1959 tentang Keistimewaan Provinsi Aceh, UU 44/1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh, dan UU 18/2001 tentang Otonomi Khusus bagi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Aceh. Dengan dikeluarkannya UU Pemerintahan Aceh, diharapkan dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kesejahteraan di Aceh untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan yang berkeadilan dan keadilan yang berkesejahteraan di Aceh.
b.    DKI Jakarta
Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta (Provinsi DKI Jakarta) sebagai satuan pemerintahan yang bersifat khusus dalam kedudukannya sebagai Ibu kota Negara Kesatuan Republik Indonesia dan sebagai daerah otonom memiliki fungsi dan peran yang penting dalam mendukung penyelenggaraan pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Oleh karena itu, perlu diberikan kekhususan tugas, hak, kewajiban, dan tanggung jawab dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Untuk itulah Pemerintah Pusat mengeluarkan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibu kota Jakarta sebagai Ibu kota Negara Kesatuan Republik Indonesia (LN 2007 No. 93; TLN 4744). UU ini mengatur kekhususan Provinsi DKI Jakarta sebagai Ibu kota Negara. Aturan sebagai daerah otonom tingkat provinsi dan lain sebagainya tetap terikat pada peraturan perundang-undangan tentang pemerintahan daerah. Beberapa hal yang menjadi pengkhususan bagi Provinsi DKI Jakarta antara lain.
Ø Provinsi DKI Jakarta berkedudukan sebagai Ibu kota Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Ø Provinsi DKI Jakarta adalah daerah khusus yang berfungsi sebagai Ibu kota Negara Kesatuan Republik Indonesia dan sekaligus sebagai daerah otonom pada tingkat provinsi.
Ø Provinsi DKI Jakarta berperan sebagai Ibu kota Negara Kesatuan Republik Indonesia yang memiliki kekhususan tugas, hak, kewajiban, dan tanggung jawab tertentu dalam penyelenggaraan pemerintahan dan sebagai tempat kedudukan perwakilan negara asing, serta pusat/perwakilan lembaga internasional.
Ø Wilayah Provinsi DKI Jakarta dibagi dalam kota administrasi dan kabupaten administrasi.
Ø Anggota DPRD Provinsi DKI Jakarta berjumlah paling banyak 125% (seratus dua puluh lima persen) dari jumlah maksimal untuk kategori jumlah penduduk DKI Jakarta sebagaimana ditentukan dalam undang-undang.
Ø Gubernur dapat menghadiri sidang kabinet yang menyangkut kepentingan Ibu kota Negara Kesatuan Republik Indonesia. Gubernur mempunyai hak protokoler, termasuk mendampingi Presiden dalam acara kenegaraan.
Ø Dana dalam rangka pelaksanaan kekhususan Provinsi DKI Jakarta sebagai Ibu kota Negara ditetapkan bersama antara Pemerintah dan DPR dalam APBN berdasarkan usulan Pemprov DKI Jakarta.



c.    Daerah Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
Provinsi Papua adalah Provinsi Irian Jaya yang diberi Otonomi Khusus dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Otonomi Khusus sendiri adalah kewenangan khusus yang diakui dan diberikan kepada Provinsi Papua, termasuk provinsi-provinsi hasil pemekaran dari Provinsi Papua, untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi dan hak-hak dasar masyarakat Papua. Otonomi ini diberikan oleh Negara Republik Indonesia melalui Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 (LN 2001 No. 135 TLN No 4151).Hal-hal mendasar yang menjadi isi Undang-undang ini adalah:
Ø  Pertama, pengaturan kewenangan antara Pemerintah dengan Pemerintah Provinsi Papua serta penerapan kewenangan tersebut di Provinsi Papua yang dilakukan dengan kekhususan;
Ø  Kedua, pengakuan dan penghormatan hak-hak dasar orang asli Papua serta pemberdayaannya secara strategis dan mendasar; dan
Ø  Ketiga, mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan yang baik yang berciri:
               i.     partisipasi rakyat sebesar-besarnya dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan dalam penyelenggaraan pemerintahan serta pelaksanaan pembangunan melalui keikutsertaan para wakil adat, agama, dan kaum perempuan;
             ii.     pelaksanaan pembangunan yang diarahkan sebesar-besarnya untuk memenuhi kebutuhan dasar penduduk asli Papua pada khususnya dan penduduk Provinsi Papua pada umumnya dengan berpegang teguh pada prinsip-prinsip pelestarian lingkungan, pembangunan berkelanjutan, berkeadilan dan bermanfaat langsung bagi masyarakat; dan
           iii.     penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan yang transparan dan bertanggungjawab kepada masyarakat.
Ø  Keempat, pembagian wewenang, tugas, dan tanggung jawab yang tegas dan jelas antara badan legislatif, eksekutif, dan yudikatif, serta Majelis Rakyat Papua sebagai representasi kultural penduduk asli Papua yang diberikan kewenangan tertentu.
Pemberian Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua dimaksudkan untuk mewujudkan keadilan, penegakan supremasi hukum, penghormatan terhadap HAM, percepatan pembangunan ekonomi, peningkatan kesejahteraan dan kemajuan masyarakat Papua, dalam rangka kesetaraan dan keseimbangan dengan kemajuan provinsi lain. Otonomi khusus melalui UU 21/2001 menempatkan orang asli Papua dan penduduk Papua pada umumnya sebagai subjek utama. Orang asli Papua adalah orang yang berasal dari rumpun ras Melanesia yang terdiri dari suku-suku asli di Provinsi Papua dan/atau orang yang diterima dan diakui sebagai orang asli Papua oleh masyarakat adat Papua. Sedangkan penduduk Papua, adalah semua orang yang menurut ketentuan yang berlaku terdaftar dan bertempat tinggal di Provinsi Papua.
Keberadaan Pemerintah, Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota, serta perangkat di bawahnya, semua diarahkan untuk memberikan pelayanan terbaik dan pemberdayaan rakyat. Undang-undang ini juga mengandung semangat penyelesaian masalah dan rekonsiliasi, antara lain dengan pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Pembentukan komisi ini dimaksudkan untuk menyelesaikan berbagai permasalahan yang terjadi di masa lalu dengan tujuan memantapkan persatuan dan kesatuan nasional Indonesia di Provinsi Papua.
d.         Daerah Istimewa Yogyakarta
       Daerah Istimewa Yogyakarta, selanjutnya disebut DIY, adalah daerah provinsi yang mempunyai keistimewaan dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia  Keistimewaan adalah keistimewaan kedudukan hukum yang dimiliki oleh DIY berdasarkan sejarah dan hak asal usul  menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 untuk mengatur dan mengurus kewenangan istimewa Kewenangan Istimewa adalah wewenang tambahan tertentu yang dimiliki DIY selain wewenang sebagaimana ditentukan dalam undang-undang tentang pemerintahan daerah.
               Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan daerah istimewa sejak pembentukannya secara de jure tahun 1950, maupun sejak pengakuannya secara de facto pada 1945. Dalam undang-undang pembentukan DIY, DIY berkedudukan hukum sebagai daerah istimewa setingkat provinsi. Sedang keistimewaannya terletak pada pengangkatan kepala daerah istimewa dan wakil kepala daerah istimewa dari Sultan dan Paku Alam yang bertahta. Namun, bentuk keistimewaan DIY tidak dicantumkan dalam undang-undang pembentukan tetapi hanya dalam undang-undang pemerintahan daerah yang mengatur semua daerah di Indonesia secara umum Dengan realitas ini, pada tahun 1965 kedudukan hukum DIY diturunkan menjadi daerah provinsi biasa, dan akhirnya pada tahun 1999 dan 2004 keistimewaan DIY memasuki wilayah kekosongan hukum
       Pasca penerbitan UU 13/2012, keistimewaan DIY meliputi (a). tata cara pengisian jabatan, kedudukan, tugas, dan wewenang Gubernur dan Wakil Gubernur; (b). kelembagaan Pemerintah Daerah DIY; (c). kebudayaan; (d). pertanahan; dan (e). tata ruang . Keistimewaan dalam bidang tata cara pengisian jabatan, kedudukan, tugas, dan wewenang Gubernur dan           Wakil Gubernur antara lain syarat khusus bagi calon gubernur DIY adalah Sultan Hamengku Buwono yang bertahta, dan wakil gubernur adalah Adipati Paku Alam yang bertahta. Gubernur dan Wakil Gubernur memiliki kedudukan, tugas, dan wewenang sebagaimana Gubernur dan Wakil Gubernur lainnya, ditambah dengan penyelenggaran urusan – urusan keistimewaan . Kelembagaan dalam bidang kelembagaan Pemerintah Daerah DIY yaitu penataan dan penetapan kelembagaan, dengan Perdais, untuk mencapai efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan masyarakat berdasarkan prinsip responsibilitas, akuntabilitas, transparansi, dan partisipasi dengan memperhatikan bentuk dan susunan pemerintahan asli.
       Keistimewaan dalam bidang kebudayaan yaitu memelihara dan mengembangkan hasil cipta, rasa, karsa, dan karya yang berupa nilai-nilai, pengetahuan, norma, adat istiadat, benda, seni, dan tradisi luhur yang mengakar dalam masyarakat DIY, yang diatur dengan perdais. Keistimewaan dalam bidang pertanahan yaitu Kasultanan dan Kadipaten berwenang mengelola dan memanfaatkan tanah Kasultanan dan tanah Kadipaten ditujukan untuk sebesar-besarnya pengembangan kebudayaan, kepentingan sosial, dan kesejahteraan masyarakat . Keistimewaan dalam bidang tata ruang yaitu kewenangan Kasultanan dan Kadipaten dalam tata ruang pada pengelolaan dan pemanfaatan tanah Kasultanan dan tanah Kadipaten.

6.    Isu-Isu Kritis terkait pelaksanaan Otonomi Daerah di Indonesia
     Rapat teknis pra raker yang diikuti oleh para Asisten 1 dan Biro terkait pemerintah provinsi seluruh Indonesia yang diselenggarakan di Anyer, Provinsi Banten pada 25 Mei 2007, berhasil menginventarisasikan delapan masalah yang mengemuka dalam praktek penyelenggaraan otonomi daerah. Kedelapan masalah tersebut dituangkan dalam sebuah notulen rapat sebagai berikut.
a.      Pembagian urusan pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota.
Pembagian urusan pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota adalah persoalan yang paling krusial dalam penyelenggaraan otonomi daerah. Sampai saat ini, pembagian urusan tersebut masih belum tuntas dan menyisakan wilayah abu-abu yang kerap memicu ketidakharmonisan hubungan antara pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota. Saat ini urusan pemerintahan yang ditangani sama. Oleh karena itu, perlu ditetapkan secara tuntas (mutually exclusive) lokus dan fokus urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan provinsi, kabupaten dan kota yang saling berimpitan. Keadaan ini telah mengakibatkan munculnya duplikasi atau pengabaian penanganan bahkan saling  lempar tanggung jawab bila urusan itu berimplikasi pada pengeluaran uang, tetapi jika urusan itu menghasilkan uang terjadi perebutan penanganan tersebut. Ini nampak pada kasus-kasus bencana alam dan pengadaan infrastruktur. 

b.         Kewenangan Gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat .
Pembahasan ihwal kedudukan dan kewenangan Gubernur tidak lepas dari konsepsi pemerintahan secara keseluruhan. Harus dipahami, pemerintah daerah merupakan subsistem dari sistem pemerintahan negara keseluruhan. Sebuah sistem pemerintahan dalam negara hanya akan berfungsi jika sub-subsistem yang ada terintegrasi, saling mendukung, dan tidak berlawanan. Pemahaman terhadap hal ini memberi landasan terhadap pentingnya penataan hubungan kewenangan dan kelembagaan antara level pemerintahan di pusat, di provinsi dan di kabupaten/kota.
Dalam praktiknya, hampir tidak ada negara di dunia yang semua pemerintahannya diselenggarakan secara sentralistis atau sebaliknya diselenggarakan seluruhnya secara desentralistis. Oleh karena itu, dalam sistem negara federal maupun kesatuan selalu ada perimbangan antara kewenangan yang diselenggarakan secara sentralistis oleh pemerintah pusat dan kewenangan yang secara desentralistis diselenggarakan unit-unit pemerintahan daerah yang otonom. Hal ini pula yang mela-hirkan konsep local state government dan local self government. Jika local state gov-ernment melahirkan wilayah administrasi pemerintah pusat di daerah yang direpre-sentasikan gubernur sebagai wakil pemerin-tah pusat di daerah dan instansi vertikal di daerah, local self government melahirkan daerah atau wilayah otonom yang direpre-sentasikan keberadaan DPRD.
Di Indonesia, perwujudan local state govern-ment dan local self government mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Jika dalam  Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 1974 daerah administratif dan daerah otonom berhimpit baik di kabupaten/kota maupun Propinsi, dalam UU No 22 tahun 1999 ber-himpitnya daerah administrasi dan daerah otonom hanya di tingkat provinsi. Jadi, provinsi memiliki kedudukan sebagai daerah otonom juga sebagai wilayah admin-istrasi. Konsekuensinya, selain sebagai kepala daerah, gubernur juga wakil pemer-intah pusat di daerah. Dalam kedudukannya sebagai wakil pemerintah pusat, gubernur menjalankan kewenangan pemerintahan yang dilimpahkan kepadanya. Sesuai keten-tuan UU No 22 Pasal 1 Huruf f, pelimpahan wewenang dari pemerintah kepada guber-nur sebagai wakil pemerintah dan atau per-angkat pusat di daerah disebut sebagai de-konsentrasi.
Dalam praktik pemerintahan daerah di Indo-nesia, ketentuan normatif UU No 22 Tahun 1999 yang memberi fungsi ganda gubernur sebagai kepala daerah otonom dan wakil pemerintah pusat tidak berjalan optimal. Meski dua fungsi ini berbeda, wilayah kerja dan orang yang menjabat gubernur adalah satu. Dalam Pasal 4 Ayat (2) UU No 22 Ta-hun 1999, wilayah kerja gubernur sebagai kepala daerah otonom tidak memiliki hubungan hierarki dengan daerah kabu-paten dan kota. Pemutusan hierarki antara provinsi dan kabupaten/kota dalam ka-pasitasnya sebagai daerah otonom bukan tanpa masalah karena pada implemen-tasinya para bupati/wali kota tidak dapat memisahkan antara fungsi gubernur seba-gai kepala daerah otonom dan sebagai wakil pemerintah pusat.
Dalam kapasitasnya sebagai wakil pemerintah pusat di daerah, gubernur tetap memiliki kewenangan untuk melakukan pengawasan dan koordinasi terhadap pelaksanaan kewenangan kabupaten/kota. Selain itu, karena pembagian kewenangan dalam UU No 22/1999 berdasarkan fungsi (mengatur dan mengurus), pemutusan hier-arki sehingga tidak ada lagi hubungan antara provinsi dan kabupaten/kota adalah sesuatu yang tidak mungkin. Pemahaman yang salah inilah yang merupakan sumber kontroversi kedudukan dan kewenangan gubernur.
UU No 32 Tahun 2004 mereposisi kewenan-gan gubernur agar fungsi ganda gubernur sebagai kepala daerah otonom dan wakil pemerintah pusat berjalan optimal. Provinsi sebagai intermediate government meru-pakan penyambung dan penghubung ke-pentingan serta kewenangan yang bersifat nasional dengan yang bersifat local harus diberdayakan. Ini penting karena Gubernur mempunyai peran yang signifikan sebagai perekat hubungan pusat dan daerah dalam bingkai NKRI.
Di Indonesia, intermediate government di-wujudkan dengan terintegrasinya wilayah administrasi dan daerah otonom. Jika pe-merintah pusat memiliki kewenangan yang bersifat standar, norma, dan pedoman na-sional, provinsi memiliki kewenangan yang bersifat lintas kabupaten dan koordinasi penyelenggaraan kewenangan di wilayah provinsi itu. Sementara kabupaten/kota memiliki kewenangan mengatur dan mengu-rus dalam bidang kewenangan yang dimiliki berdasarkan standar dan norma dari pusat juga dari provinsi. Reposisi kewenangan gubernur idealnya dilakukan dengan tujuan penguatan lokal, bukan sebaliknya bertujuan resentralisasi kekuasaan. Karena hakikat otonomi daerah adalah mendekatkan pelayanan dan pemerintahan kepada masyarakat. Harus dibuka keseimbangan antara kepentingan yang bersifat nasional serta regional dan kepentingan yang bersifat lokal. Di sini dianut gabungan antara prinsip uniformitas dan subsidiaritas, di mana kewenangan pelayanan dan pemerintahan seharusnya memerhatikan kepentingan nasional dan lokal.
Harus disadari bahwa Otonomi Daerah adalah aspek yang paling strategis untuk merajut integrasi nasional, di sini otonomi daerah menjadi batu uji untuk pelaksanaan keadilan, demokrasi, kesetaraaan dan pemerataan. Daerah dituntut untuk mampu menunjukkan kinerjanya untuk mewujudkan keadilan, menumbuhkan kehidupan yang lebih demokratis, dan melakukan pemerataan kegiatan dan hasil pembangunan. Selain itu otonomi daerah juga dapat dijadikan wahana untuk mengembangkan pluralisme dan semangat inklusivisme. Di sinilah Gubernur memiliki peran kunci.
Dengan memerhatikan prinsip uniformitas dan subsidiaritas, kewenangan yang seharusnya dilakukan gubernur sebagai wakil pemerintah pusat adalah kewenangan yang bersifat dekonsentrasi dan kewenangan yang bersifat pengawasan dan koordinasi, termasuk kewenangan untuk membatalkan peraturan daerah kabupaten/kota. Kewenangan pengawasan dan koordinasi ini dapat dilakukan provinsi karena kedudukannya sebagai wakil pemerintah pusat di daerah. Selain itu, atas alasan efisiensi dan efektivitas, di mana sampai saat ini lebih kurang 1.000 perda bermasalah belum dapat diputuskan Depdagri, maka pemberian kewenangan kepada gubernur untuk melakukan review atas perda-perda bermasalah akan amat membantu fungsi pengawasan terhadap perda. Untuk mereposisi peran dan fungsi gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah adalah dengan menyambungkan kembali hierarki antara provinsi dan kabupaten/kota. Oleh karen itu, perlu segera dibuat peraturan perundangan sebagai implementasi Otonomi Daerah yang mengatur tentang kewenangan Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah yang menangani urusan-urusan yang berhubungan dengan pelaksanaan dekonsentrasi dan tugas perbantuan. Sekarang timbul kecenderungan departemen memperpanjang tangannya ke daerah melalui pembentukan balai dan UPT yang sering tidak sinkron dengan kebijakan daerah.
c.     Pengangkatan Sekretaris Kabupaten/kota
Pengangkatan Sekretaris Daerah Kabupaten/Kota telah memusingkan Gubernur. Sekretaris Daerah Kabupaten/Kota adalah jabatan karir puncak bagi birokrat daerah. Sekretaris Daerah Kabupaten/Kota yang mampu bekerjasama dengan pemerintah provinsi adalah modal bagi terbentuknya kerjasama antara pemerintah kabupaten/kota dengan pemeritnah Provinsi.
Permendagri No 5 bertentangan dengan UU 32 p1asal 32 ayat (3), pengangkatan Sekretaris Dareah yang mengharuskan persetujuan Menteri Dalam Negeri selain memperpanjang rentang birokrasi juga rawan dipolitisasi. Senyatanya yang mengetahui dengan tepat tentang spesifikasi dan kualifikasi personnel yang pantas untuk menduduki jabatan sekretaris daerah adalah Baperjakat Daerah. Baperjakat Provinsi yang harus melakukan fit & proper test untuk mengetahui kompetensi birokrat calon Sekretaris Daerah. Oleh karenanya pengangkatannya cukup oleh Gubernur tanpa harus dengan persetujuan Menteri Dalam Negeri. Ini sejalan dengan peran gubernur sebagai wakil pemerintah pusat.

d.         Perimbangan Keuangan.
Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah yang mengikuti ketentuan UU No 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan telah memungkinkan munculnya ketimpangan fiskal antar daerah. Daerah kaya akan mendapatkan dana fiskal yang semakin besar sedangkan daerah yang miskin akan mendapatkan bagian yang semakin kecil. Perlu ditinjau kembali dasar-dasar penetapan perimbangan keuangan dan perolehan dana DAU. Kasus tentang Bali dan DIY yang miskin sumber daya alam otomatis akan mendapat DAU yang kecil, tetapi kedua provinsi tersebut mempunyai sumber daya jasa yang memadai tetapi tidak pernah diperhitungkan  dalam DAU. Oleh karenanya perlu memasukan variabel baru yang dijadikan pertimbangan untuk menetapkan besarnya dana perimbangan dan DAU dengan memperhatikan karakteristik daerah, termasuk apakah daerah dengan bentang daratan atau bentang kepulauan. Ke depan perlu ditata kembali distribusi dana perimbangan untuk daerah dengan memperhatikan karakteristik daerah yang bersangkutan agar memberikan rasa keadilan.
e.         Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
Sampai sekarang ini hampir di seluruh daerah kecuali DKI Jakarta, pemerintah daerah adalah pembelanja terbesar dan menjadi penggerak ekonomi yang dominan di daerah. Belakangan ini proses penyusunan APBD di level daerah memerlukan waktu yang cukup lama karena harus disusun besama DPRD. Setidaknya memakan waktu nyaris tiga bulan, kemudian dibawa ke Departemen Dalam Negeri untuk diperiksa, dan ini juga memakan waktu. Akibatnya APBD baru bisa dibelanjakan sekitar bulan April dan Mei, sehingga terjadi keterlambatan pembelanjaan di daerah. Padahal APBD merupakan penggerak ekonomi daerah, dengan keterlambatan dan rendahnya penyerapan pembelanjaan APBD maka akan memperlambat pertumbuhan ekonomi daerah. Ini masalah yang dirasakan bersama oleh hampir semua pemerintah daerah. Perlu dicarikan jalan keluar dari Pemerintah untuk membuat mekanisme penyusunan dan pengesahan APBD yang lebih cepat dan akurat.
f.     Pertanahan
Masalah Pertanahan adalah masalah pelik yang kerap dihadapi oleh Pemerintah Daerah, masalah tersebut kerap kali membawa ekses eskalasi konflik di daerah. Sudah saatnya urusan pertanahan sebagian di devolusi ke pemerintah daerah. Hingga saat ini kewenangan pertanahan masih menjadi kewenangan pemerintah pusat. Hal ini telah menyulitkan pemerintah provinsi, kabupaten dan kota. Kasus yang terjadi terutama yang berkaitan dengan HGU dan HPH yang telah habis masa berlakunya kerap memunculkan konflik karena tiba-tiba tanah tersebut beralih milik sementara masyarakat sekitar tidak dapat mengakses redistribusi tanah eks HGU.
Sampai saat ini BPN masih melakukan intervensi berdasarkan ketentuan bahwa harus ada izin pelepasan dari menteri berkaitan. Ketentuan tentang pelepasan hak yang mengharuskan ada izin dari menteri berkaitan seharusnya dihapuskan dan dialihkan kepada Gubernur yang notabene wakil pemerintah pusat di daerah yang tahu persis tentang kondisi pertanahan di daerahnya. Jika devolusi diberikan kepada gubernur ini akan mempermudah gubernur sebagai wakil pemerintah untuk membagikan HGU yang sudah habis masa berlakunya. Ini sejalan dengan program pemerintah untuk membagikan 9.000.000 ha lahan. HGU dan HPH yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat kerapkali mengabaikan hak-hak masyarakat lokal dan yang notabene secara tradisional dan turun temurun menggunakan tanah tersebut. Kewenangan pertanahan yang masih berada di tangan pemerintah pusat sering memunculkan kasus perselisiahan antara Pusat dengan masyarakat di daerah. Daerah tidak bisa menyelesaikan. Ini berpotensi menciptakan kerawanan keamanan di daerah. Oleh karena itu, daerah harus diberi kewenangan menangani pertanahan yang ada di daerahnya. Pertanahan merupakan urusan khusus, mestinya didiskusikan bagaimana cara penanganan bersama antara pusat dan daerah.
g.             Sengketa Perbatasan dan Penanganan Daerah Perbatasan
Sengketa Perbatasan dan Daerah Perbatasan adalah isu yang belum mendapatkan perhatian yang memadai dari pemerintah pusat. Masalah batas daerah merupakan masalah krusial sering menimbulkan konflik di daerah. Kewenangan Gubernur dalam menangani sengketa perbatasan antara kabupaten yang satu dengan yang lainnya dinilai masih lemah. Ini sangat berbahaya karena memicu konflik dan menghambat kerjasama antar daerah. Oleh karena itu Gubernur diberi kewenangan yang jelas dan besar dalam hal menangani sengketa perbatsan.
Untuk Provinsi yang berbatasan dengan Negara tetangga dan laut internasional perlu diperluas kewenangannya. Pemerintah Pusat yang bertanggungjawab dengan urusan perbatasan dan pulau terluar sering tidak memfasilitasi apakah itu dalam bentuk infrastruktur atau yang lainnya agar daerah yang bersangkutan bisa menjaga keutuhan territorial. Sementara daerah yang bersangkutan terbebani dampak yang timbul dari kebijakan tersebut. Kasus tertangkapnya kapal asing yang melakukan illegal fishing seperti yang terjadi di Kalimantan Barat, Maluku, Maluku Utara, dan Gorontalo telah menyusahkan daerah. Daerah harus memberi makan kepada awak kapal asing yang ditahan, ini membebani anggaran daerah, maka jalan keluarnya hanya beberapa awak kapal dan kapalnya ditahan. Ini adalah sebuah kerugian. Oleh karena itu, Pemerintah Pusat mestinya menempatkan alat-alat kelengkapan yang memadai untuk menjalankan urusan wajib pemerintah pusat yang ada di daerah terutama daerah perbatasan dengan negara tetangga.


h.    Pemekaran Daerah
     Pemekaran Daerah telah menguras energi Pemerintah Provinsi, dan prosesnya sering menimbulkan ketidakstabilan daerah. Pemekaran sering kurang memperhatikan aspek kemampuan daerah yang akan dimekarkan. Sebaiknya ketentuan tentang pemekaran harus lebih mengedepankan faktor-faktor yang dimiliki daerah yang berkaitan langsung dengan kemampuan menyelenggarakan pelayanan publik yang lebih baik dibandingkan dengan daerah induknya. Pemekaran saat ini lebih tinggi bobot politiknya dari pada aspek kondisi obyektif daerah. Harus ada audit independen yang komprehensif yang mengevaluasi kelayakan pemekaran dan ada masa transisi untuk pemekaran yang diawasi oleh daerah induk. Setelah menunjukkan kinerja yang baik, baru dimekarkan. Pemerintah Pusat seharusnya mengeluarkan insentif dan disinsentif bagi daerah pemekaran. Jika daerah pemekaran tidak mampu menunjukkan kinerjanya dalam perbaikan HDI, maka sebaiknya digabung lagi dengan daerah induk, karena rakyatlah yang dirugikan.













C.   Rangkuman

1.      Otonomi Daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri Urusan Pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
2.      Asas pelaksanaan otonomi daerah diantaranya asas desentralisasi, dekosentrasi dan asa pembantuan
3.      Tujuan umum diselenggarakannya otonomi daerah diantarnya meningkatkan pelayanan umum, kesejahteraan masyarakat serta daya saing daerah
4.      Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya pemerintah daerah dan pemerintah pusat saling berkaitan baik dalam segi pengawasan, pemanfaatan sumber daya, pelayanan umum serta fiskal
5.      Daerah berstatus otonomi khusus dan istimewa yang berada di indonesia  saat ini diantaranya Aceh, DKI Jakarta, Papua dan papua barat serta DIY. Pelaksanaan otonomi di daerah-daerah tersebut berbeda dengan daerah lain karena memiliki dasar hukum pelaksanaan yang berbeda
6.      Isu isu kritis terkait pelaksanaan otonomi daerah di indonesia diantaranya
a.      Pembagian urusan pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota.
b.      Kewenangan Gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat .
c.       Pengangkatan Sekretaris Kabupaten/kota
d.      Perimbangan Keuangan
e.      Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
f.        Sengketa Perbatasan dan Penanganan Daerah Perbatasan
g.      Pemekaran daerah


D.     Glosarium

·         Eksplisit                                   : pemaknaan secara langsung                       
·         free will                                   : kebebasan pribadi untuk memilih
·         pengawasan represif             : usaha yang dilakukan setelah
terjadinya pelanggaran
·         pengawasan preventif            : usaha yang dilakukan untuk
mencegah
·         legislatif                                  : lembaga pembentuk undang-undang
·         eksekutif                                  : lembaga pelaksana undang-undang
·         yudikatif                                  : lembaga penegak hukum
·         Rekonsiliasi                             : perbuatan memulihkan hubungan
persahabatan pada keadaan semula; perbuatan menyelesaikan perbedaan;   
·         sub-subsistem                         : bagian dari sistem
·         local state government           : pemerintahan daerah
·         uniformitas                             : hal (keadaan) uniform; keuniforman/
keseragaman.
·         Subsidiaritas                            : hubungan fundamental masyarakat
dengan sifat manusiawi
·         fit & proper test                      : uji kelayakan dan kepatutan
·         eskalasi                                   : penambahan, kenaikan , peningkatan
·         devolusi                                   : adalah pelimpahan kekuasaan dari
pemerintah pusat dari suatu negara berdaulat kepada pemerintah pada tingkat subnasional, seperti tingkat regional, lokal
·         independen                             : berdiri sendiri tanpa adanya intervensi
·         komperhensif                          : secara menyeluruh


E.    Daftar Pustaka
·         UUD 1945
·         UU no.23 tahun 2014
·         UU No. 32 tahun 2004
·         UU No.1 tahun 1945
·         UU No.22 Tahun 1948
·         UU No. 5 Tahun 1974
·          Mahi, Raksaka et al. 2001 Fiscal Decentalizations : Its Impact on Cities Growth.
Jakarta : Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Indonesia
·         Sidik, Machfud, Keuangan Daerah. modul Universitas Terbuka. Penerbit Universitas Terbuka. Jakarta.2003
·          Amir Piliang, Yasraf.2003.hipersimiotik:tafsir cultural studies atas matinya makna.Yogyakarta:jalasutra
·         Sutikanti.permasalahan otonomi daerah ditinjau dari aspek keuangan pemerintah pusat dan daerah.jakarta:majalah ilmiah unikom
                                             

2 komentar:


  1. Saya telah berpikir bahwa semua perusahaan pinjaman online curang sampai saya bertemu dengan perusahaan pinjaman Suzan yang meminjamkan uang tanpa membayar lebih dulu.

    Nama saya Amisha, saya ingin menggunakan media ini untuk memperingatkan orang-orang yang mencari pinjaman internet di Asia dan di seluruh dunia untuk berhati-hati, karena mereka menipu dan meminjamkan pinjaman palsu di internet.

    Saya ingin membagikan kesaksian saya tentang bagaimana seorang teman membawa saya ke pemberi pinjaman asli, setelah itu saya scammed oleh beberapa kreditor di internet. Saya hampir kehilangan harapan sampai saya bertemu kreditur terpercaya ini bernama perusahaan Suzan investment. Perusahaan suzan meminjamkan pinjaman tanpa jaminan sebesar 600 juta rupiah (Rp600.000.000) dalam waktu kurang dari 48 jam tanpa tekanan.

    Saya sangat terkejut dan senang menerima pinjaman saya. Saya berjanji bahwa saya akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi jika Anda memerlukan pinjaman, hubungi mereka melalui email: (Suzaninvestment@gmail.com) Anda tidak akan kecewa mendapatkan pinjaman jika memenuhi persyaratan.

    Anda juga bisa menghubungi saya: (Ammisha1213@gmail.com) jika Anda memerlukan bantuan atau informasi lebih lanjut

    BalasHapus
  2. The best slots and bonus codes for South Africa - LuckyClub
    › casino-sites › casino-sites The most popular games with free spins and luckyclub bonuses from South Africa's best casinos are the Jackpot Party, Live Casino, and Baccarat.

    BalasHapus